Kamis, 27 Maret 2008

SUMATRA SUITANABLE SUPPORT

SEBUAH PENGANTAR

Indonesia sebagai negara berkembang dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa, juga tidak terbebas dari belitan masalah-masalah yang kompleks tersebut. Laporan PBB menyebutkan bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,12 persen. Bahkan Laporan “A Future Within Reach” maupun Laporan MDGs Asia-Pasifik Tahun 2006 menempatkan Indonesia dalam kategori terbawah dalam pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDGs) yang disepakati sejak September 2000. Indonesia memperoleh skor negatif, baik dalam indeks kemajuan maupun dalam status terakhirnya. Dari 23 indikator dalam tujuh sasaran MDGs, enam di antaranya masuk ke dalam kriteria mundur, yaitu garis kemiskinan nasional, kekurangan gizi, kerusakan hutan, emisi karbon dioksida (CO2), air bersih di perkotaan dan sanitasi di pedesaan.


Kondisi tersebut tersebar di semua bagian wilayah Indonesia termasuk di pulau Sumatra. Khusus di pulau Sumatra dengan total luas sekitar 47,6 juta ha, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2000), total populasinya mencapai 44.486.713 jiwa dan mayoritas tinggal di pedesaan. Data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2005) menyebutkan bahwa pada tahun 2000 terdapat sekitar 4.386.381 keluarga miskin di Sumatera yang sebagian besar merupakan masyarakat yang tinggal disekitar dan di dalam hutan.

Tantangan kedepan untuk mengurangi kemiskinan dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam – terutama sumber daya hutan – sangatlah besar. Hal ini disebabkan karena disaat angka kemiskinan belum menunjukkan penurunan yang berarti, justru disaat yang bersamaan pula ternyata sumber daya hutan yang diharapkan bisa menjadi gantungan perbaikan kesejahteraan masyarakat terus mengalami kerusakan dan penyusutan secara drastis. Kehilangan sumber daya hutan di Sumatera yang sangat tinggi tersebut diantaranya dapat ditunjukan dengan kenyataan bahwa pada tahun 2003 luas tutupan hutan keseluruhan di Sumatera hanya tinggal kira-kira 15 juta ha. Sampai saat ini, ancaman terhadap kawasan hutan alam tersisa terus meningkat melalui konversi hutan untuk Perkebunan Besar Swasta Kelapa Sawit dan pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Menyangkut laju kerusakan hutan, hasil kajian Bank Dunia (1999) yang memprediksikan bahwa sebagian besar hutan dataran rendah Sumatera akan hilang pada tahun 2005 mulai terbukti dan selanjutnya kawasan hutan lahan basah pada tahun 2010.


Terbuktinya sebagian prediksi ini jelas amat mengkhawatirkan karena bagi sebagian besar masyarakat di Sumatera, sumberdaya hutan merupakan salah satu hal terpenting karena hutan mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar masyarakat. Jauh sebelum eksploitasi kayu secara besar-besaran dilakukan, pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat sebenarnya telah berlangsung tetapi tidak didasari hanya pada kegiatan eksploitatif, tetapi juga dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutannya. Pengelolaan seperti ini telah lama dilakukan dalam bentuk hutan adat (Jambi dan Sumatera Barat), talang (Bengkulu dan Sumatera Selatan), repong damar (Lampung), kebun kemenyan (Sumatera Utara), gampong (NAD) dan lainnya.

Selain itu, persoalan mendasar lainnya adalah adanya realitas bahwa berbagai inisiatif tersebut sangat tergantung pada bantuan donor dari luar terutama lembaga donor internasional. Tantangan bersama di Sumatra pada masa datang adalah bagaimana berbagai inisiatif tersebut dapat “diangkat” menjadi inisiatif yang mengarah pada kewirausahaan sosial dengan dukungan sumber daya alam lestari sehingga inisiatif tersebut dapat berjalan mandiri Untuk itulah Sumatra Sustainable Support (sss) hadir untuk menggalang suatu skema dukungan yang berasal dari berbagai kalangan untuk masyarakat di Sumatra. Wadah ini juga akan berperan sebagai lembaga grant making di tingkat regional guna mendukung upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bersandar pada pengelolaan sumber daya alam lestari.

Doc: Rencana Strategis SSS