Kamis, 27 Maret 2008

Tanam Durian untuk Tabungan Pendidikan Anak

Oleh:Amir Hamza*

Adakah hubungan antara aktivitas menanam pohon dengan tabungan? Tentu saja tidak. Namun, percaya atau tidak masyarakat Desa Ulak segelung, Kecamatan Inderalaya Utara Ogan Ilir justru melakukan gerakan tanam durian dengan harapan tujuh hingga sepuluh tahun mendatang tanaman tersebut menghasilkan laba yang dapat digunakan untuk biaya pendidikan anak-anaknya.



Ide ini sebenarnya digagas oleh KSM Payung Desa, salah satu kelompok masyarakat yang ada di desa tersebut. Melalui pembicaraan singkat dengan pendamping dari Yayasan Keluarga Mandiri Pedesaan (YKMP) Inderalaya ide ini terlaksana pada puncak acara sosialisasi Pendidikan Keluarga Berwawasan Gender (PKBG) di Desa Ulak Segelung, pada 26 – 29 November 2007.
Menurut Naziri Burhiah, Direktur Yayasan Keluarga Mandiri Pedesaan (YKMP) ide untuk menanam durian sebagai tabungan pendidikan ini dilatarbelakangi oleh kondisi alam desa yang banyak ditumbuhi dengan tanaman buah tropis, seperti durian, duku dan sejenis kueni (bhs local : asam-asaman). Sejak dulu, hasil dari tanaman buah local ini sebenarnya telah membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat, namun saat ini beberapa areal lahan yang ditumbuhi buah-buahan tersebut mulai hilang, diganti dengan areal pemukiman dan juga pohon-pohon durian yang berusia tua ditebang untuk diambil kayunya. Gerakan menanam tanaman durian ini, selain bertujuan sebagai gerakan reboisasi dan bentuk kepedulian terhadap lingkungan juga sebagai tabungan pendidikan bagi anak-anak. “Dua kepentingan mencoba kita gabungkan dalam kegiatan ini, di samping sebagai usaha konservasi tanah dan lingkungan juga diharapkan berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat,” kata Naziri lagi.

Gagasan Tanaman Durian untuk Tabungan Pendidikan
Salah satu hal yang mencolok dan menjadi permasalahan utama di desa Ulak Segelung, terutama di sektor pendidikan adalah rendahnya minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Tingkat pendidikan anak-anak di Desa Ulak Segelung rata-rata hanya sebatas sekolah dasar. Beberapa hal dapat menjadi alasan mengapa para orang tua enggan menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi, terutama alasan ekonomi. Ketiadaan biaya, ataupun jauhnya jarak antara desa dengan gedung sekolah.
Biasanya, anak yang putus sekolah ini langsung menjadi tenaga kerja untuk membantu orang tuanya dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Budaya hidup di kebun dengan beragam karakter yang menyertainya kemudian menempa sang anak menjadi seorang anak yang mempunyai tipikal keras dan temperamental. Bukan menjadi rahasia umum lagi, kalau budaya pisau di pinggang masih menjadi sebuah tradisi turun menurun di lokasi ini, sehingga menyebabkan tingkat kriminalitas di desa ini tinggi. Satu hal yang sebenarnya dapat menghentikan budaya ini, dengan mengubah pola pikir sang anak, salah satunya melalui pendidikan formal.

Masalah biaya pendidikan sang anak sebenarnya juga bukan menjadi masalah krusial, jika sang orang tua menggalakkan budaya menabung. Dari kajian kalender musim selama setahun, sebenarnya hanya ada satu sampai dua bulan saja aktifitas masyarakat terhenti di desa tersebut. Artinya, selama 10 bulan lebih masyarakat dapat menggantungkan hidupnya dari sumber daya yang ada di desa tersebut, mulai dari sawah lebak, menjadi nelayan musiman hingga hasil tanaman buah tropis. Dan, dari kegiatan tersebut dapat disisihkan sebagian sebagai biaya pendidikan sang anak. Namun, tetap saja hal ini menjadi sulit dilakukan pada masyarakat yang budaya menabungnya juga rendah. Dengan menanam durian sebagai tabungan pendidikan, diharapkan sang anak sendiri yang akan memeliharanya hingga tanaman tersebut menghasilkan. Kesadaran ini diharapkan akan menjadi kesadaran kolektif level keluarga dalam usaha meningkatkan sumber daya manusia di desa Ulak Segelung.

Selain untuk kepentingan tabungan pendidikan, isu kepedulian lingkungan juga menjadi sorotan di tengah rendahnya kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan di desa tersebut. Ada banyak kasus, di mana masyarakat yang selama ini telah menikmati hasil kebun berupa buah-buahan, tiba-tiba membabat habis tanaman tersebut dengan harapan mendapatkan keuntungan sementara. Akibatnya, buah-buahan yang sebenarnya bisa didapatkan di kebun mereka, menjadi tanaman langka dan mereka harus membeli dengan mengeluarkan uang yang tidak sedikit hanya untuk menikmati lezatnya buah durian. Artinya juga, gerakan menanam durian ini sebagai jawaban terhadap semakin berkurangnya tegakan-tegakan tanaman potensial yang dapat dinikmati tidak hanya kayu (non timber) sebagai hasil ekonomisnya dengan menanam tanaman-tanaman muda yang akan menjadi sumber ekonomi di masa depan.


*Amir Hamzah : staf Yayasan Kelurga Mandiri Pedesaan