Kamis, 27 Maret 2008

Banjir

Oleh: Rico*

Gelap pelan-pelan mulai menyelimuti desa. Beduk bertalu-talu pertanda waktu sholat magrib pun telah tiba. Anak-anak mengaji sedikit terburu-buru berjalan menuju surau seolah-olah berpacu dengan angin yang juga semakin kencang berhembus. Lampu-lampu togok kembali bertugas terangi desa seadanya dimana cahayanya tampak menembus dinding-dinding kayu rumah panggung yang mulai merana.


Malam di Desa Batu Kerbau memang tidak semenarik yang kita bayangkan. Hanya ada gelap yang masih belum terusik oleh apapun. Kadang bintang dan bulan apabila cuaca cerah hadir menghibur walau samar-samar terlihat. Keberadaan jengkrik dan kodok masih memiliki peranan yang besar dalam memecah kesunyian malam, sesekali juga terdengar alunan suara mesin genset dibeberapa rumah warga yang sedikit lebih mampu.
Televisi ternyata masih menjadi barang yang langka disaat hiburan semakin menjadi kebutuhan bagi warga desa. Tampak di rumah yang telah masuk listrik dengan tenaga genset penuh dengan warga yang menonton hiburan dari media masa yang satu ini. Sinetron adalah suguhan yang paling menarik, meskipun sungguh jauh dari kenyataan di desa saat ini. Rumah mewah, mobil mewah, pakaian serba wah semuanya entah kapan sampai disini. Disini hanya ada parang, cinsaw, sapi, umo dan sepatu Petani yang mirip dengan sepatu bola dan terkenal anti selip dikalangan petani dan pembalak kayu.

Berkayu memang kegiatan utama masyarakat. Kelangsungan hidup di desa saat ini sepertinya hanya ada dari sini. Bukan karena damar, rotan, jernang atau pandan sudah tidak ada lagi, atau tanah di umo sudah tak subur lagi, atau ternak yang telah mati, atau apa lagi ?. Mengapa harus pada kayu kami bergantung ?, dan mengapa hanya kayu yang mereka-mereka beli, pak?. Sesekali pertanyaan itu menerjang dari nurani para tubuh-tubuh kekar mereka. Entah mulai dari mana harus menjawabnya. Hanya nurani yang bisa.

Gemuruh di langit pancarkan halilintar seakan-akan menembus jantung. Kilat menyambar-yambar di udara. Angin tak lagi lembut belai api togok yang menyala, kadang-kadang harus padam untuk hidup kembali. Air terdengar berdecak diatap. Milyaran rintik-rintik air itu tak terbendung jatuh menghujam. Semakin besar dan besar membulir lalu mengalir di atas tanah-tanah, batu dan dedaunan.

Hening tetap saja selimuti desa. Orang-orang terdiam diberanda-beranda rumah melihat dan bertanya-tanya “Apa sukam mendapat malam ini, atau… ?”.
“Jawi hanyut udah di hilia “,
“jawi udah hanyut di hilia”
“OOii”
Seketika semua warga tersentak. Berhambur berlarian dalam kegelapan. Mata kaki telah terbenam oleh air di jalan-jalan. Sebagian jalan telah rata oleh air. Selokan ditepi jalanpun tak tampak lagi. Orang-orang tampak berlarian. Basah dan rasa dingin tak lagi jadi penghalang. Terlihat sebagian besar dari mereka adalah kaum laki-laki.
“Di hilir air telah naik”
“Di dekat mesjid di mudik air telah setinggi lutut”
Kabar dari mulut- kemulut semakin menambah warga yang lain memilih untuk diam, dan bertanya apa yang akan melanda desa ini. Kaum ibu dan anak-anak pada umumnya berdiam dirumah, menunggu apa selanjutnya akan dilakukan.

Suara kodok sama sekali tidak terusik, lambat-laun semakin menggila mungkin saja ia bersorak
“ Rasakanlah apa akibatnya kini “
Madrasah yang berada dekat dari bibir sungai telah ramai oleh warga yang melihat air yang naik perlahan tapi pasti. Beberapa warga menyelamatkan potongan kayu di tepi sungai yang hendak di jual. Angin bawa aroma lumpur yang mengalir bersama air sungai yang bah. Hujan belum juga reda, waktu telah menunjukan pukul 23,15 WIB.

Tampak masyarakat yang tinggal tak jauh dari sungai masih tenang melihat keadaan dan bertanya apa yang akan terjadi bersama anak-anak mereka. Selang beberapa menit kemudian air telah melimpah dari bibir sungai, tumpah ruah genangi madrasah. Air semakin mengalir deras menyusup ke tengah-tengah perkampungan.

Anak-anak terdiam dalam pangkuan ibu dan ayah mereka yang berjalan menerjangi arus air yang semakin naik. Mengungsi ke rumah-rumah dan tempat-tempat yang aman adalah jalan yang terbaik dilakukan saat itu. Harta terasa mulai tak bernilai meskipun hanya ada beberapa helai baju lebaran kemaren. Air tidak juga surut, seolah olah akan menjilati lantai-lantai rumah panggung yang berada tidak jauh dari sungai tersebut.
“Dozer hanyuuut”
Gurau guru Sukad sambil tertawa berkelakar coba halau ketegangan ditengah-tengah masyarakat saat itu.
“Apa iya dozer yang seberat itu bisa hanyut ?” pertanyaan itu sempat terlontar dari mulut warga yang terpancing oleh gurau Bapak Sukad.
Bapak Sukad adalah orang yang cukup lama tinggal di desa ini, kurang lebih 15 tahun. Ia satu-satunya guru yang mampu bertahan mengajar di daerah terpencil seperti desa ini. Memang ada Dozer di desa ini yang telah lama tidak bisa beroperasi lagi dikarenakan rusak, dan ditinggalkan pekerjanya sehingga pengerjaan jalan di desa ini terhenti.
Biduak pun mulai dimanfaatkan untuk membawa barang-barang yang mesti di selamatkan. Kecemasan mulai semakin terasa, air kemungkinan tak lagi surut hingga pagi tiba. Belum ada pertanda air akan kembali bersahabat hingga malam mulai berganti. Di mesjid azan telah di kumandangkan, sebab hanya kepada tuhan semua diserahkan.

Kantuk mulai meraba mata, lelah mulai terasa dan kini hanya ada kata pasrah yang penting nyawa masih bisa selamat. Barang-barang yang tersisa kini tinggal dan entah apa yang akan terjadi esok. Dalam kepasrahan tiba-tiba air tampak menyusut dan hujan pun reda, harapan kembali ada namun lelah telah mengalahkan semua yang ada hanya bayangan esok pagi, dan ternyata ”alam masih mau memaafkan kita”.

* Rico :Staff AILInst Jambi