Rabu, 11 Februari 2009

HUTAN ADAT BATU KERBAU

Desa Batu Kerbau merupakan salah satu desa di Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo Tebo Jambi. Berbatasan wilayah dengan desa Muara Buat Kecamatan Rantau Pandan di sebelah Utara, Taman Nasional Kerinci Seblat di sebelah Barat, wilayah HPH PT.Rimba Karya Indah dan Kecamatan Tabir Ulu di sebelah selatan serta dengan desa Baru Pelepat di sebelah Timur. Terdiri dari empat dusun yaitu Batu kerbau, Lubuk Tebat, Belukar Panjang dan Simpang Raya, dengan luas wilayah sekitar 45.000 hektar dengan perincian pemukiman 37 ha, kebun karet 125 ha, kulit manis 223 ha, ladang 475 ha, kebun buah 330 ha, hutan adat desa 1.500 ha, hutan lindung desa 2.500 ha, semak belukar 110 ha dan hutan lebat 39.900 hektar. Hutan secara tradisonal telah mempunyai peranan yang sangat berarti sejak dahulu bagi masyarakat, karena hutan sumber air, menyediakan lahan yang diperlukan untuk pemukiman, budidaya pertanian, hasil hutan baik kayu maupun non kayu untuk memenuhi kebutuhan sendiri serta dijual.



Masyarakat desa Batu Kerbau dapat digolongkan kepada tipologi desa tua, kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat masih dipertahankan dengan kuat. Kebudayaan dan adat istiadat Minang Kabau mempunyai peran dalam menyelesaikan semua permasalah yang timbul ditengah-tengah masyarakat. Peran lembaga adat tidak saja terlihat dalam mengatur masalah-malah sosial dalam desa, namun juga berperan dalam pengelolaan sumberdaya alam. Menurut cerita yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, sejarah desa Batu Kerbau diawali dari kedatangan rombongan Datuk Sinaro Nan Putiah dalam rangka menelusuri perjalanan Cindurmato mulai dari Alam Minang Kabau tepatnya Pagarruyung Tanah Datar melalui Alam Kerinci kemudian menghiliri Air Liki baru masuk ke Batang/Sungai Napat di sekitar Gunung Rantau Bayur dan menetap dihulu sungai Samak (Batang Pelepat). Disini kemudian rombongan tersebut menetap dan mendirikan dusun dengan berbagai aktifitasnya pertanian seperti berternak dan berkebun.

Nama desa (dusun) Batu Kerbau sendiri diambil dari nama batu yang menyerupai kerbau, menurut ceritanya batu tersebut adalah salah satu kerbau dari Datuk Sinaro nan Putiah yang disapo/dikutuk oleh sipahit lidah yang kebetulan lewat di hulu Batang Pelepat. Sampai sekarang daerah ini disebut Batu Kerbau dan juga dijadikan sebagai nama dusun sekaligus sebagai nama Desa. Wilayah kekuasaan adat Datuk Sinaro Nan Putiah adalah dengan batas-batas sebelah Barat/hulu dengan Kabupaten Kerinci atau dalam pepatah adat disebutkan " Batu Kijang Alam Kerinci, kelumbuk yang berbanir, bemban yang berduri, lubuk yang tidak berikan salimang, dan rimbo yang tidak berkuao, sebelah Timur/hilir berbatasan dengan Rantel (Jambi) atau dalam adat disebutkan Rio Maliko Lubuk Tekalak, sebelah Utara berbatasdengan Senamat/Rantau Pandan dalam adat disebutkan dengan Batu Bertanduk dan sebelah Selatan berbatas dengan Batang Tabir dalam adat disebutkan dengan Bukit Kemulau/golek air guling batu dengan Batang Kibul Tabir. Sekarang yang masuk wilayah ini adalah desa Batu Kerbau Dan baru Pelepat.

Dalam menjalankan roda pemerintahan dibentuk struktur pemerintahan yang berpegang kepada pepatah adat yang berbunyi "Alam berajo, negeri berpenghulu", dimana sebagai wakil pemerintahan Pagaruyung diangkat sebagai penghulu alam "Dt Sinaro Nan Putiah" yang dibantu oleh "Tiang Panjang" dan "Nenek Rabun" bergelar "Dt Bendaharo " tinggal di Batu Kerbau dan "Dt Rangkayo Mulia" di Baru Pelepat dengan wilayah meliputi Batu Kerbau, Lubuk Tebat, Belukar Panjang, Pedukuh dan Baru Pelepat.

Letak Administrasi dan Geografi

Untuk mencapai desa Batu Kerbau dibutuhkan waktu kurang lebih 2 – 2,5 jam dengan kendaraan bermotor dari Muara Bungo. Jarak dari Rantau Keloyang ibu kota kecamatan Pelepat sekitar 87 kilometer dengan kondisi jalan 40 Kilometer jalan logging dan sisanya jalan Kabupaten. Akses ke Batu Kerbau dapat ditempuh melalui dua alternatif yaitu pertama melalui jalan Loging HPH PT. RKI dari simpang Kuamang Kuning-Batu Kerbau atau melalui jalan Rantau Keloyang-Trans Dusun Baru Pelepat-Batu Kerbau. Sarana transportasi masyarakat di dalam desa dengan berjalan kaki, sementara untuk keluar desa baik kepasar Kecamatan maupun Kabupaten menggunakan kendaraan bermotor roda dua dan empat serta lewat sungai dengan menggunakan rakit apabila air sungai tidak surut. Frekwensi kendaraan bermotor cukup lancar pada musim kering/kemarau, sedangkan pada musim hujan tidak ada/jarang sekali kendaraan yang dapat masuk dusun Batu Kerbau dan Lubuk Tebat kecuali ke dusun Belukar Panjang. Untuk carter kendaraan ke dusun Batu Kerbau dan Lubuk Tebat dari Rantau Keloyang minimal harus mengeluarkan uang Rp. 110.000.

Jumlah penduduk sekitar 178 KK atau 891 jiwa terdiri dari 391 laki-laki dan 500 wanita. Sebagian besar penduduk berasal dari etnis Minang Kabau, sedangkan dari Jawa hanya 2 KK, Kerinci 1 KK dan Melayu Jambi 5 KK. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Minang dengan menerapkan adat istiadat Minang Kabau, baik untuk pewarisan maupun perkawian.

Tingkat pendidikan masyarakat rata-rata rendah, 225 orang buta huruf, 600 orang tamat tingkat sekolah dasar, 60 orang tamat SMP dan 10 orang tamat SMA serta 2 orang tamat perguruan tinggi dengan sarana pendidikan 3 buah gedung SD dan 14 orang guru. Sarana informasi yang dimanfaatkan masyarakat hanya radio, sedangkan televisi belum ada yang punya. Prasarana kesehatan yang terdapat di desa adalah puskesmas pembantu dan rumah bidan desa tetapi tenaga medis tidak ada/sangat terbatas sekali. Keterbatasan tenaga medis menyebabkan masyarakat hanya mengantungkan pengobatan kepada dukun-dukun kampung, kondisi ini didukung oleh ketersediaan bahan-bahan ramuan untuk obat tradisionil yang banyak terdapat di pekarangan, sesap, belukar maupun hutan desa.


Sosial ekonomi masyarakat

Masyarakat desa Batu Kerbau bermata pencaharian utama pada sektor pertanian dengan tanaman utama adalah tanaman karet, padi ladang, kulit manis, dan kopi. Pola pertanian masyarakat desa Batu Kerbau dapat digolongkan ke pola transisi/peralihan dari pola pertanian pengumpul dengan sistim perladangan berpindah ke pola pertanian menetap. Kegiatan pertanian pengumpulan masih terlihat dari aktifitas masyarakat sehari-hari, kegiatan ini terutama dalam pengumpulan hasil hutan kayu dan non kayu yang berlangsung sepanjang musim. Sistim pertanian yang digunakan tergolong tradisional dam sub sistem seperti kegiatan berhumo/padi ladang yang dilakukan tiap tahun dengan sistim gilir balik atau ladang berpindah. Tanaman pekarangan atau tanaman buah yang banyak dijumpai adalah durian, duku, kelapa, nangka, cempedak, jengkol, kuluntunjuk, bedaro dan lainnya. Tanaman karet yang diusahakan adalah tanaman karet lokal (rubber jungle) yang sudah tua dan sebahagian tidak produktif akibat yang ditimbulkan adalah banyaknya terdapat kebun-kebun karet terlantar menjadi sesap-sesap tua. Tanaman kayu manis dan kopi hanya sebahagian kecil dari masyarakat yang mengusahakan.

Proses terjadinya Sesap dan Belukar lebih banyak disebabkan oleh faktor penguasaan lahan oleh masyarakat. Lahan apabila telah berubah fungsi menjadi sesap atau belukar itu menandakan lahan sudah dikuasai atau mempunyai kepemilikan secara individu atau kelompok adat dan orang lain apabila ingin memanfaatkannya harus seizin adat atau seizin orang yang membukanya pertama. Dilihat dari perubahan fungsi lahan ini setiap tahun terjadi peningkatan dan hampir seluruh wilayah Batu Kerbau Kecuali hulu-hulu anak Sungai Pelepat dan seberang S. Pelepat. Meningkatnya jumlah sesap dan belukar di desa Batu Kerbau tidak terlepas dari luasnya areal eks. HPH PT Alas atau PT. Mugitriman, sehingga masyarakat berusaha menguasai/memgambil lahan-lahan ini sebagai cadangan yang akan diwariskan ke generasi berikutnya.

Sebelum adanya kegiatan HPH beroperasi di wilayah desa, secara adat tata cara pembukaan lahan perladangan telah diatur dan dipatuhi anggota masyarakat, akan tetapi pengaturan lebih ditekan kepada anggota masyarakat dari luar desa. Bagi setiap masyarakat luar desa yang ingin membuka lahan harus membayar dan mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan lembaga adat. Disamping itu pendatang di haruskan menjalani acara pengangkatan sebagai anggota masyarakat, setelah semua syarat-syarat terpenuhi maka hak dan kewajibanya akan sama dengan masyarakat lainnya.

Sebelum adanya pencemaran air sungai Pelepat potensi ikan sungai cukup besar namun potensi ini terancam oleh pihak-pihak luar yang melakukan peracunan sungai di hulu S. Pelepat sehingga populasi ikan turunnya secara drastis. Di tingkat desa penangkapan ikan dengan strum, bahan peledak atau racun sangat dilarang dan setiap pelanggaran akan dikenakan sangsi secara adat.

Kegiatan lain dalam pengumpulan hasil hutan seperti kayu balok, madu, rotan, manau, jernang serta buah-buahan, dapat menambah pendapatan rumah tangga dan menjadi sebagai sumber ekonomi rumah tangga pada saat-saat krisis. Pengambilan madu dan jernang dilakukan satu sampai dua kali setahun biasanya bersamaan dengan musim buah-buahan. Untuk madu masyarakat mengenal adanya pohon sialang tempat madu lebah bersarang dan pengambilan dilakukan secara sederhana menggunakan tunam (obor). Madu yang diperoleh dijual Rp. 5.000/kilogram.

Kearifan Tradisional di dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Desa
Bentuk Kearifan tradisinal ini sampai sekarang dapat dilihat dengan adanya lubuk larangan disetiap dusun yang menyimpan potensi ikan lokal seperti ikan semah, barau, meta, dulum, baung, batu, bajubang belang dan belido. Terdapat juga areal salak alam lokal seluas 50 ha, yang menyebar di segenap wilayah desa. Terdapat hutan salak yang mengelompok dengan luas sekitar 30 hektar, jenis salak yang terdapat adalah salak ular, kelapa, abu, tembaga dan bawang. Bahkan ada mitos salak dewa yaitu rumpun salak yang tidak bisa difoto. Selain itu juga terdapat pohon enau lokal sebanyak 1.200 batang yang tersebar diberbagai kawasan didesa dengan jenis enau gajah, berban dan ketari. Pohon durian tersebar disetiap wilayah desa, mencapai luas sekitar 110 hektar dan berbagai tumbuhan buah lokal lain seperti embacang, kulun tunjuk, bedaro, cempedak, duku serta rambutan.
Hutan adat desa (HAD) merupakan kawasan hutan didalam wilayah administrasi desa Batu Kerbau seluas 1.500 hektar yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas dan didalam pemanfaatannya harus mendapat izin kelompok adat serta pemerintahan desa. Sedangkan Hutan Lindung Desa (HLD) berupa kawasan seluas 2.500 hektar yang tidak boleh dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Dikedua kawasan iini terdapat potensi wisata seperti air terjun, gua-gua alam, panorama, serta tempat bersampan dan memancing. Menurut masyarakat didalam kawasan hutan ini terdapat rusa, kancil, babi hutan, beruang madu, beruk, elang, gagak hutan, kuwau, harimau sumatera, kalong, kera, kijang, murai batu, musang, rangkong, siamang, simpai, ternuk, ungko serta masih banyak terdapat rotan, manau, damar, meranti, jelutung, gaharu, sialang dan lainnya.

Latar belakang pembentukan dua kawasan lindung desa ini karena sepuluh tahun terakhir sangat gencar masuk berbagai izin Hak Pengusahaan Hutan dan areal Perkebunan Besar Swasta (karet). Kondisi ini telah membuat desa-desa di sekitar Batu Kerbau kehilangan ulayatnya. Sebagai akibatnya banyak sesap juga hutan cadangan telah berubah fungsi. Masyarakat sendiri meyakini fungsi hutan sebagai sumber kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, melindungi tanah dan air, menghasilkan produk hutan non kayu seperti getah, rotan, damar, buah-buahan, tanaman obat-obatan, madu, kayu bangunan, protein hewani, tempat rekreasi, sumber mata air, bagian dari sisitim budaya khususnya masyarakat adat dan mengatur iklim. Sehingga masyarakat sangat berkompeten untuk menjaga dan mengawetkannya.

Lewat pertemuan formal ditingkat desa dengan melibatkan Pemerintahan Desa, Ninik Mamak, Tokoh Agama, Kaum Adat dan pemuda pada tahun 1993 disepakati untuk melindungi daerah-daerah khusus. Dalam menetapkan kawasan yang dilindungi juga telah diputuskan fungsi dan sangsi bagi setiap pelanggaran yang terjadi. Dalam menyelesaikan dan menjatuhkan sangsi tersebut akan ditempuh secara musyawarah adat dan mempunyai tata cara yang sesuai dengan hukum. Hutan Adat Desa merupakan kawasan hutan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas, dan didalam pemanfaatannya harus mendapat izin kelompok adat serta pemerintahan desa. Sedangkan Hutan Lindung Desa merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Kedua wilayah hutan tersebut juga menyimpan potensi wisata seperti air terjun tiga tingkat, air terjun Sei Seketan I dan Sei Seketan II, gua-gua alam, panorama yang indah, dan olah raga arung sungai serta memancing.

Berikut ini digambarkan bentuk-bentuk pengelolaan oleh masyarakat :

a. Hutan Adat dan Lindung Desa
Dari luas total wilayah 45.0000 Hektar, Hutan Adat desa sekitar 1.500 dan 500 Hektar, Hutan Lindung Desa 2.500 Hektar dan Hutan Lindung Belukar Panjang belum ditentukan luasnya serta Kebun buah 330 ha (Durian 110 ha dan Salak alam 50 ha). Batas-batas hutan belum definitif tapi masyarakat menggunakan batas-batas alami, untuk Hutan Adat Desa Bukit Gedang dan Bukit Menangis berbatasan dengan S. Gedang sebelah timur, S. Inun dan bekas jalan Log Mugitriman sebelah Barat, Jalan Log RKI sebelah Selatan dan Sesap masyrakat sebelah Utara. Sedangkan untuk Hutan Lindung Desa Sungai Seketan berbatasan dengan jalan Log Mugitriman sebelah Selatan, muara Anak Sungai Seketan dean S. Betung sebelah Timur, S. Isa sebelah Barat dan Bukit Mai sebelah Utara. Untuk Hutan Lindung Desa Bukit Limau-limau Belukar panjang berbatasan dengan S. Lubuk Gedang sebelah Timur, S. Lubuk Petai sebelah Barat, S. Etang sebelah Utara dan Sesap masyarakat sebelah Selatan. Dikawasan hutan adat menurut masyarakat terdapat Rusa (Cervus unicolor), Kancil (Tragulus javanicus), Babi Hutan (Sus scrofa), Beruang Madu (Helarctos malayanus), Beruk (Macaca nemestrina), Elang Ular (Spilornis cheela), Gagak Hutan (Corvus enca), Harimau Sumatera (Phantera tigris Sumatrae), Kuaw (Argosianus argus), Kalong (Pteropos vampyris), Kera (Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Murai Batu (Copsycus malabaricus), Musang (Paradoxurus hermaphroditus), Rangkong (Buceros rhinoceros), Siamang (Symphalangus syndactylus), Simpai (Presbytis melalophos), Tenuk (Tapirus indicus), Ungko (Hylobates agilis) dan lainnya. Selain itu juga terdapat berbagai jenis rotan, manau, damar , meranti, jelutung, medang, gaharu dan lainnya.

b. Lubuk Larangan
Lubuk larangan merupakan baahagian dari sungai Pelepat yang dilindungi dan dikelola oleh masyarakat adat dan pemerintahan desa. Lubuk Larangan yang terdapat di batu Kerbau terdiri dari Lubuk Larangan (L. Batu Kerbau, Lubuk Tebat, Lubuk Gedang/Belukar Panjang), Lubuk Tamu (L. Mata Kucing/Batu Kerbau dan L. Ipuh/Belukar Panjang) dan Lubuk Karang Taruna Belukar panjang di L. Sekapas. Pada lokasi ini menyimpan berbagai potensi jenis ikan lokal yang saat ini mulai jarang ditemukan seperti ikan semah, barau, meta, dalum, baung, batu, bajubang belang, belido. Bahkan pada tahun 1996 saat diadakan panen oleh Bupati Kabupaten Bungo Tebo di Lubuk Larangan.ini didapat ikan semah seberat 16 kg. Hasil panen ikan lebih dari 1 ton, uang penjualan di gunakan untuk membangun sarana umum bagi kepentingan masyarakat. Keberadaan lubuk ini masih terjaga dari gangguan karena kuatnya lembaga adat, agama, pemerintahan desa dan anggota masyarakat dalam menjaganya, namun yang menjadi kendala masyarakat adalah ancaman yang datang dari masyarakat luar yang mengadakan penangkapan ikan dengan racun, bahan peledak dihulu S. Pelepat sehingga berpengaruh terhadap populasi ikan di Lubuk Larangan desa.

c. Kawasan plasma nutfah lokal
Kawasan yang berisi tanaman khas desa berupa salak rimba dengan luas total 50 hektar (hamparan hutan salak salak 3 ha) menyebar di seluruh kawasan desa terutama sekitar kawasan anak-anak Sungai Pelepat, Seketan, Pelepat Kecil, Sekapas. Berdasarkan jenis-jenis salak yang terdapat di Batu Kerbau digolongkan dalam beberapa jenis yaitu: salak kelapa berkulit coklat dengan biji goncang rasanya manis dengan ukuran sebesar telur, salak abu berwarna coklat biji lekat pada daging buah rasanya manis, salak ular berwarna coklat biji lekat kedaging buah banyak mengandung air, salak tembaga berkulit kepala merah biji lekat pada daging buah rasanya manis, salak bawang berwarna coklat rasanya agak kelat berukuran kecil. Selain itu juga terdapat salak dewa, yaitu rumpun salak yang menurut masyarakat ajaib, karena tidak bisa difoto.

Keberadaan Salak Lokal yang tersebar merata hampir diseluruh wilayah desa merupakan potensi untuk meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat, karena selain rasa yang khas juga bentuknya yang spesifik. Sulitnya sarana transportasi, apalagi pada musim penghujan membuat hasil masyarakat (buah-buahan) tidak bisa dijual keluar, karena tidak imbangnya antara harga jual di pasaran dengan biaya angkut. Sehingga pada musim-musim besar, banyak buah yang dibiarkan busuk, karena sudah tidak termakan lagi oleh masyarakat.

Selain tanaman salak juga terdapat pohon enau yang berjumlah sekitar 1.200 batang di kawasan Hutan Adat dan Lindung Desa juga dikebun dan sesap masyarakat. Tumbuhan ini digolongkan oleh masyarakat dalam beberapa jenis seperti enau gajah daunnya rimbun dengan ruas pendek, batangnya besar, ijuknya rimbun dan tandannya panjang, serta rasa air manis. Enau berban berdaun rimbun, ruas panjang dengan tandan pendek, ijuk tipis dan rasanya manis. Enau ketari berdaun rimbun berbatang kecil, daun panjang, ijuk pendek dan rasanya manis. Pemanfaatan enau ini sekarang baru pada niranya yang diolah menjadi gula aren untuk kebutuhan rumah tangga, pemanfaatan yang berorentasi pasar seperti gula aren, ijuk dan buahnya belum dilakukan masyarakat.

Potensi lain yang mempunyai prospek bagus dimasa yang akan datang adalah potensi buah-buahan seperti Duren, kepayang. Potensi kedua tanaman buah ini menyebar dikawasan desa mulai ladang dan sesap ataupun belukar yang luasnya sekitar 110 Hektar dan tumbuh liar. Pada musim durian siapa saja bisa menikmatinya. Kendala pemasaran ke Ma. Bunga adalah biaya transportasi yang tidak lancar serta tinggi sehingga pemanfaatan buah ini hanya untuk kebutuhan rumah tangga atau diolah secara traadisional menjadi asam duren dan minyak kepayang. Sedangkan duku, rambutan, biasanya ditanam dikebun bersama kulit manis, karet dan tanaman lainnya.

Pada musim tanaman buah-buah berbunga juga masyarakat dapat mengambil madu lebah pada pohon sialang (Pohon kedondong hutan dan jelmu) yang tesebar di sesap, belukar dan kawasan hutan desa. Dari inventarisasi pohon sialang di dusun Batu Kerbau terdapat pohon sialang yang produktif sekitar 20 batang (dalam kawasan Hutan Lindung 7 batang, Hutan Adat 1 batang, B. mai 6 batang, dan hulu S. Seketan 5 Batang).

Ditingkat masyarakat sendiri sosialisasi tentang hutan adat desa, hutan lindung dan Lubuk Larangan desa sudah cukup baik dan disamping itu juga sebagai salah satu untuk mempertahankan dan menjaga keberadaan hutan adat desa dan hutan lindung desa telah disusun suatu keputusan desa yang memuat aturan-aturan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan kawasan ini oleh masyarakat. Keputusan ini juga memuat sangsi-sangsi yang dijatuhkan kepada oarang/kelompok orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kawasan ini. Sangsi-sangsi untuk pelanggaran terhadap kawasan hutan lindung dan hutan adat desa tersebut antara lain :

•Denda Kerbau satu ekor + beras 100 gantang + kelapa 100 butir + kain 8 kayu dan kalau dinilai dengan uang sebesar Rp. 25.000.000,-
•Denda Kambing satu ekor + beras 20 gantang + kelapa 20 butir + kain 4 kayu dan kalau dinilai dengan uang sebesar Rp. 2.500.000,-
•Sangsi untuk pelanggaran terhadap Lubuk Larangan disamping denda Kambing satu ekor + beras 20 gantang + kelapa 20 butir + kain 4 kayu juga sangsi secara agama yaitu sumpah dengan membacakan Surat yasin dan alqur'an 30 juz.

Dari Keputusan desa diatas memang agak berat bagi pelangaran terhadap kawasan konservasi desa Batu kerbau apalagi hukuman sosial bagi anggota masyarakat dan akan menjadi semakin berat bila dihubungkan dengan UU Konservasi No. 5 tahun 1990 dengan denda 100 juta sampai 200 juta atau hukuman kurungan sampai 10 tahun Penjara, tetapi keberadaan hukum ini tidak mempunyai arti apa-apa bagi yang melanggarnya karena selama ini adanya backingan dari aparat dan oknum. Dengan kondisi ini masyarakat semakin tidak berdaya karena setiap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat terhadap areal konsesi selalu mendapat ancaman dan hukuman yang berat dari pihak perusahaan beserta aparat yang melindunginya.

catatan pengalaman
RD Dt Rky Endah

Read More......