Kamis, 16 Februari 2012

Berebut Symbol ke-Digdaya-an

Dengan sedikit mengeluh, seorang teman berkata kepada saya; “teman-teman kita banyak yang sukses”, ehmm. Sedangkan saya hanya begini saja, teman kita ada yang bekerja di perusahaan asing, ada yang bekerja menjadi PNS, pengacara seperti kamu
dan ada yang menjadi Dosen. Percakapan tersebut berlalu begitu saja, setelah sampai dirumah muncul pertanyaan dalam otak saya. kenapa dia memberi penilaian yang prestisius pada pekerjaan professional seseorang? Padahal, teman saya tersebut mempunyai kemerdekaan tersendiri dalam menjalankan hidupnya.

Pada situasi yang lain, saya mendengarkan cerita di sebuah kedai kopi yang mengatakan: bapak si A hebat ya, kini dia sudah menjadi ketua organisasi besar dan bapak si B sudah menjadi terkenal. Tetapi, yang menyebutkan tersebut lupa, bahwa bapak si A yang hebat tersebut dalam kantornya merupakan pemain yang hebat dalam melakukan manipulasi proyek, telah dibuktikan dengan dihukum penjara setahun yang lalu karena korupsi. Kemudian bapak si B yang terkenal tersebut, dahulunya hidup semena-mena dalam menjalankan hidup premanismenya.

Jadi, kenapa penilaian seseorang kepada orang-orang tersebut menjadi sesuatu yang dikagumi? padahal latarbelakang orang tersebut, secara umum dipahami sebagai tindakan yang tidak baik.
Ahh…sudah la—tatanan norma, nilai-nilai sudah mulai jungkar balik. Ungkap seorang sahabat terhadap fenomena ini. Hal ini bisa disebabkan karena rendahnya kualitas kebudayaan manusia saat ini. Dengan pengertian budaya adalah bentuk respon komunitas masyarakat dalam menilai perilaku dalam komunitasnya atau pada komunitas yang lain. Seperti, kebudayaan Materialistik, yakni; ketika orang-orang atau komunitas menilai baik-buruknya sesuatu dari materi yang dimiliki oleh seseorang atau komunitas tertentu. Jadi, fenomena perebutan Harta dan Kekuasaan merupakan perebutan Symbol Ke-Digdaya-an bagi seseorang, keluarga dan kelompok mereka, ungkapnya.


Kalau begitu, apa yang direbut oleh Aktivis Sosial, Ulama dan Budayawan?. Mungkin, mereka tidak berebut sesuatu yang tidak bersifat “materi”. Tetapi, berebut dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Seperti: aktivis berjuang Demi Keadilan Sosial. Ulama berebut menjalankan perintah Tuhan. Budayawan berebut, menggali nilai-nilai budaya yang berprikemanusiaan, lanjutnya.