Senin, 31 Maret 2008

"TEORI RELATIFITAS" DAN KONFLIK

oleh :Pandong/31 Maret 2008


Fenomena konflik sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar, pemikiran tidak akan berkembang kalau koflik tersebut tidak ada. Teori “dialektika” merupakan sebuah filsafat yang membenarkan benturan/konflik tersebut dalam mencari sesuatu yang benar.


Pencarian kebenaran mempunyai banyak cara, salah satunya dengan pergulatan pemikiran. Berpikir secara mendasar merupakan titik awal pencarian tersebut. Seperti mempertanyakan diri. Siapa saya? apa itu manusia? dan lain sebagainya. Proses tersebut mengarahkan kepada penemuan tentang kehidupan yang lebih mendalam. Misalkan tentang asal-usul terciptanya makhluk dan jagad raya ini?. Sampai hari ini teori terciptanya jagad raya hanya sampai teori, belum menemukan sebuah hukum, yang merupakan sebuah kebenaran yang sudah diterima oleh akal sehat dan terbukti. Sebagaimana hukum grafitasi dan lain sebagainya.

Pemikiran tentang kebenaran pada objek-objek makhluk hidup yang ada didunia ini, secara lansung tidak akan melahirkan konflik. Tetapi, ketika pemikiran tersebut menyentuh masalah kebutuhan dan kepentingan manusia!!!. Maka, hal ini akan mengakibatkan terjadinya sebuah benturan yang bisa yang mengalirkan darah dimana-mana.

Hal tersebut akan tercipta ketika sebuah pandangan kebenaran, yang diyakini oleh sesorang “menegasi”-kan/menafikan pendapat orang lain dan meyakini kebenaran tersebut sudah final. Pemikiran bisa meningkatkan eskalasi dan memperbesar dampak konflik. Bahkan aliran darah bisa merubah sungai menjadi darah. Sebagaimana terjadi di Bosnia Herzegovia, perang salib, palestina untuk kontek nasional penyerangan oleh lascar Islam di jakrata, penistaan Nabi Muhammad SAW di Belanda.

Teori relatifitas ditengah-tengah konflik

Prinsip dasar konsep pemikiran relatifitas adalah : bahwa seluruh yang ada di jagadraya ini relatif, karena dia akan hilang dan sirna. Maka, dia tidak absolut/abadi. Sedangkan dalam konsep teologi mengajarkan adanya keabadian/absolut. Keabadian/absolut tersebut hanya dipunya oleh yang “MAHA”. Yakni yang maha pencipta adalah“TUHAN”.

Jadi, ketika seseorang meyakini bahwa pendapatnya sesuatu yang paling benar maka, ia telah menyalahi hakekatnya. Mana mungkin kebenaran absolut tersebut tercipta dari sesuatu yang relatif? Karena makhluk (manusia) yang menyatakan tersebut relatif.

Lantas bagaimana dengan konsep kebenaran agama?ke-ima-nan/keyakinan?

Dalam konsep ke-iman-an, juga menyatakan manusia tersebut relatif. Sedangkan absolut tersebut ada pada “TUHAN” pencipta langit dan bumi. Ketika pertanyaan tentang penciptaan jagadraya tidak terjawab. Maka, “TUHAN”memberikan petunjuk melalui “NABI” dan kitab-kitab-Nya. Sehingga manusia menyandarkan kebenaran tersebut pada-Nya. Jadi, tetap saja manuisa dalam posisi relatif.

Akan tetapi, sering terjadi sebuah penafsiran terhadap kitab suci oleh manusia yang relatif oleh manusia, untuk menyatakan bahwa tafsirannya adalah sebuah kebenaran. Secara teologi kitab suci itu absolut. Tafsiran terhadap kitab suci tersebut adalah relatif karena, tafsiran berasal dari manusia yang relatif.

Dengan dasar berpikir seperti itu, akan membuat kita lebih meyakini diri untuk terbuka dalam melakukan sebuah diskursus dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa mau memonopoli kebenaran yang harus dijalankan oleh semua orang. Konsep tersebut membuat kita lebih toleran dengan pandangan orang lain. Minimal kita tidak memaksakan diri bahwa pandangan kita mesti diterima oleh orang lain.

Kalau hal ini tercipta. Maka, hal ini merupakan titik awal dari kehidupan yang toleran. Sehingga potensi konflik bisa dipahami bersama, bukan dihilangkan. tetapi "dipahami" sehingga tidak mengakibatkan sungai berubah warna menjadi darah.

Semoga...