Kamis, 19 September 2013

Pandong Spenra "Blusukan" demi Orang Rimba

Masyarakat di perbatasan Provinsi Sumatera Barat-Jambi-Riau menjuluki Pandong Spenra (34) "bupati orang rimba". Tentu bukan karena ia memenangi pemilihan kepala daerah. Julukan itu melekat karena komitmen dan konsistensinya memperjuangkan nasib Suku Anak Dalam yang mendiami hutan di areal tapal batas ketiga provinsi itu.

Separuh hidup Pandong didedikasikan untuk orang Rimba yang tersu terdesak akibat alih fungsi lahan. Lahir dan besar di pedesaan yang berbatasan dengan hutan hunian Suku Anak Dalam (SAD), Pandong lekat dengan problematika mereka.

Pergumulan antara nilai kearifan loka dan arus kapitalisasi di hutan habitat orang Rimba membuat hati Pandong miris melihat keterbelakangan mereka.
"Orang rimba semakin terdesak dari alam mereka sendiri akibat masifnya alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan hutan tanaman industri," ujarnya.

Salah satu kegaiatannya adalah pemberian layanan pendidikan. Ia bersama relawan masuk-keluar hutan mengenalkan aksara kepada anak-anak Rimba. Digandengnya anak muda aktivis sosial untuk mengajarkan baca-tulis dan berhitung bagi anak Rimba. Hasilnya, sejumlah orang Rimba nayaman menjual hasil hutan damar dan rotan kepada juragan  di kampung.

"Setidaknya anak saya tak takut ditipu para tauke (juragan)," ujar Yusuf (50), salah satu tokoh orang Rimba di kawasan hutan Dharmasraya, Sumatera Barat.
Kegiatan lain yang terus digagas Pandong adalah pelayanan kesehatan untuk SAD. Salah satu yang ditekankan adalah sanitasi. Ia merintis kebiasaan hidup sehat SAD dengan menjauhkan hunian mereka dari sumber penyakit menular. Jamban keluarga mulai dikenalkan sehingga mereka tidak sembarangan membuang tinja.

Ia juga menggandeng Pemerintah Kabupaten Darmasraya menyediakan jaminan asuransi kesehatan bagi warga SAD, seperti warga umum lainnya. Dinas Kesehatan Dharmasraya menyediakan jaminan kesehatan daerah untuk orang Rimab di wilayah ini.

Jumlah warga komunitas SAD sebanyak 60-100 orang. Sabagai gambaran, di hutan Dharmasraya, SAD terbagi dalam tiga kelompok besar, yakni rombong Marni, Penyiram, dan Yusuf. Pemkab DHarmasraya menjadikan SAD sebagai bagian dari warga miskin yang tertanggung dana sekitar Rp 2,9 miliar untuk pelayanan kesehatan.
Pandong pun ingin agar pemerintah tiga provinsi (Sumbar,Jambi, dan Riau) mau berkoordinasi dalam penjaminan kesehatan bagi SAD yang mendiami areal tapal batas ketiga provinsi itu. Orang Rimba punya kebiasaan berpindah dari satu kawasan hutan ke kawasan hutan lain mencari hasil hutan eperti rotan, damar, karet, serta satwa rimab, labi-labi (sejenis kura-kura).

Jika kartu jaminan kesehatan berdasarkan alamat, sulit bagi klinik atau rumah sakit melayani mereka. Sebab, sistem administrasi pelayananrumah sakit di daerah mengacu pada kabupaten domisili. " Sepatutnya pemerintah ketiga provinsi itu memahami kebiasaan mengembara orang Rimba."

Berkecimpung dalam keseharian SAD Pandong fasih menjelaskan kebiasaan mengembara orang Rimba yang tak lepas dari kepercayaan mereka. Ada masa di mana keluarga harus melewati ritual "melangun". Ritual ini menjadi penghiburan atau upaya melupakan kesedihan apabila salah satu anggota keluarga meninggal.

Mereka harus meninggalkan lokasi hunian tempat musibah itu terjadi. Kelurga harus boyongan pindah lokasi membawa selurah perabotan yang dimiliki. Lokasi tujuan "melangun" dan berapa lamanya ditentukan melalui permenungan Tumenggung, pemimpin kelompok komunitas itu. Satelah perkabungan di anggap selesai, mereka kembali ke lokasi asal.

Oleh karena "melangun" termasuk budaya SAD perlu kearifan pemerintah dalam memberikan pelayanan hak dasar warga negara, termasuk kesehatan bagi mereka. Inilah salah satu point penting dari advoksi yang dilancarkan Pandong.

Pluralisme
Esensi perjuangan Pandong adalah menguatkan kesadaran pluralisme (keberagaman). Aktivitas mengurusi orang Rimab sejalan dengan kegemarannya menangani bencana alam yang korbannya beragam, tak mengenal suku, agama, dan wialyah administrasi pemerintahan.

Tahun 2010, saat Gunung Sinabung di Sumatera Utara meletus, Pandong dan rekan-rekannya menjalankan misi kemanusiaan. Saat itu bertepatan dengan Idul Fitri. Ketika kaum Muslimin berkumpul dengan keluarga, Pandong dan kawan-kawan membaur bersama pengungsi bencana Sinabung yang secara komunitas berbeda.
"Kami orang Minang umumnya beragama Islam. sedangkan korban Gunung Sinabung di Brastagi umumnya Batak yang dominan Kristen. Tak ada masalah di sini," katanya.

Perjuangan menumbuhkan kesadaran akan pluralisme membangun sinergi pada aktivitas perekonomian. Kelompok tani di Nagari Sungai Duo, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, dapat diyakinkan untuk membantu perekonomian SAD yang terusir dari rimab akibat maraknya usaha perkebunan.

Kelompok tani itu mau menyisihkan sebagian gabah hasil panen demi memasok bahan pokok. Sebab, hasil hutan seperti damar dan rotan tak selamanya bisa didapatkan dengan mudah.

Rumah Singgah
Rumah sederhana bertipe 21 yang dikontrak Pandong bersama keluarga seolah "diwakafkan" untuk orang rimba. Hampir setiap pekan ada orang Rimba, yang menjual rotan, damar, dan hasil hutan lainnya ke warga kampung bertandang ke rumahnya.

Mereka sekedar mengaso atau berkonsultasi seputar hak dasarnya. Pembicaraan bisa panjang, termasuk untuk kepentingan pembauran dan sosialisasi dengan warga desa. Tak jarang orang Rimba pun menginap di rumah Pandong.

"Orang Rimba tak mengenal waktu bertamu. Bila datangnya malam, mereka akan menginap. Ini sekalian agar mereka dapat merasakan hidup bermasyarakat dengan warga desa katantya.

Pergumulan bersama SAD menajamkan keyakinan Pandong dan kawan-kawannya bahwa kepedulian tulus kepada siapa pun bisa merangkai perbedaaan menjadi sesuatu yang indah.

Atas dasar pengalaman empirik, ia mendirikan Perkumpulan Peduli agar kegiatan terorganisasi. Lembaga yang didirikan 20 Desember 2010 itu menjadi wadah perekat antar komunitas.

Sumber : Kompas (Rabu, 03 Juli 2013)