Rabu, 05 September 2012

Sekelumit tentang Perkumpulan Peduli

Suku anak dalam di Dharmasraya sangat terbantu dengan kehadiran Perkumpulan Peduli di sana. Bermodalkan semangat dan keikhlasan, perkumpulan yang dipimpin Pandong Spenra ini rutin memberikan bantuan makanan, obat-obatan serta mengadvokasi pendidikan kepada 15 KK orang rimba di Sungai Janiah, Sungai Bulangan, Kecamatan Kotobesar dan Batang Bakur, Kecamatan IX Koto.

MOBIL Taft BM 1981 BA warna hitam yang dikendarai Pandong, tiba-tiba mogok di Nagari Kototinggi, Kecamatan Kotobesar, Rabu (20/6) ma­lam. Saat itu,Padang Ekspres ber­sama anggota Per­kum­pulan Peduli baru saja pulang dari rimba, mengunjungi rom­bong suku anak dalam Marni di Bukit Bulangan.

Pandong pun segera turun dan membuka kap mesin. Alang­kah terkejutnya dia, ter­nyata selang radiator bocor. Air di dalam radiator ternyata ke­ring. “Lagi apes kita hari ini. Harus cari air. Perjalanan masih jauh ke Pulaupunjung,” ujar Direktur Eksekutif Per­kum­pulan Peduli ini.

Kami pun turun. Mobil di­do­rong ke tepi jalan. Pan­dong segera meminta dua ang­go­tanya, Rio Saputra dan Eko untuk menyetop pe­ngen­dara yang melintas. Tu­juan­nya, untuk boncengan mencari air ke ru­mah penduduk. Se­telah me­nunggu 10 menit, barulah ada motor lewat. Pan­dong menye­topnya dan me­minjam motor Ihsan, yang kemudian diketahui warga Sitiung IV. Beruntung, Ihsan pun berbaik hati memin­jam­kan motornya kepada Rio dan Eko.

Tiga kali Rio dan Eko bo­lak-balik meminta air ke ru­mah penduduk, dengan botol Aqua besar ukuran 1.500 ml. Be­runtung, setelah diisi radiator dengan air, mobil pun bisa distarter kembali. “Ayo be­rangkat. Kita harus bergegas ke persimpangan Kototinggi.

Di sana, sudah ada kawan abang yang menanti. Kita naik mobil dia saja nanti ke Pulau­punjung,” ulas Pandong.

Benar saja, selama per­ja­lanan, air terus menetes dari selang radiator. Lima menit perjalanan, kami pun sampai di persimpangan Kototinggi. Di sana, sudah ada teman menanti. Kami pun pulang dengan mobil Avanza ke Pulaupunjung. Mobil Taft yang rusak, ditinggalkan di persimpangan Kototinggi, dekat toko teman Pandong.

Itu hanya sekelumit kisah yang dihadapi Perkumpulan Peduli dalam menjalankan misi kemanusiaan, membantu suku anak dalam (SAD). Di sela-sela perjalanan pulang menuju Pu­lau­punjung, Pandong bercerita. Terbentuknya Perkumpulan Peduli ini diawali saat dirinya bersama Rio Saputra, Yoga (Ke­tua Pramuka SMAN 1 Koto­baru) dan Khairul (Ketua OSIS SMAN 1 Sitiung) melakukan perjalanan ke Gunung Sinabung, Sumatera Uta­ra, Oktober tahun 2010. Me­reka berencana mem­bantu kor­ban meletusnya Gu­nung Sina­bung. Saat itu, berte­patan dengan H-1 Idul Fitri tahun 2010 M.

Di tengah-tengah orang ber­kumpul dengan keluarganya, mereka malah memilih untuk berbaur bersama pengungsi Gunung Sinabung. “Walaupun tetes air mata mengiringi kawan-kawan ketika telepon berdering dari orangtua masing-masing di malam takbiran. Saat itu, kami berpikir bagaimana untuk mem­bantu korban,” kenang Pan­dong.

Aksi kemanusiaan Pandong cs ­dilanjutkan membantu kor­ban bencana tsunami Mentawai. “Di Mentawai, kami mengum­pul­kan sumbangan untuk di­bagikan kepada korban bencana. Setelah tiba di Dharmasraya kembali, kami juga me­ngum­pulkan sumbangan di jalan lintas Sumatera, Gunungmedan serta mengumpulkan sumbangan dari sejumlah sekolah yang tersebar di Dharmasraya,” tutur alumni Fakultas Hukum UBH yang juga advokat ini.

Pengalaman ini mena­jam­kan keyakinan Pandong cs, bahwa ketika kepedulian dita­warkan kepada siapa pun, maka kepe­dulian itu akan bisa me­rangkai perbedaan menjadi sesuatu yang indah. “Keyakinan ini perlu meluas. Makanya, kami men­di­dirikan wadah Per­kum­pulan Peduli,” ulas ayah dua anak itu.

Perkumpulan Peduli di­de­kla­­­rasikan, Senin, 20 De­sember 2010 di Dharmasraya. Ke­mu­dian dilanjutkan dengan pe­nyu­sunan rencana strategis program pada 14 Februari 2011. Per­kum­pulan Peduli mempunyai visi wadah perekat antarkomunitas. Perkumpulan ini memiliki lam­bang jabatan tangan berbentuk hati dari serpihan puzzel ber­warna orange.

“Bagi kami, lambang ini berarti nilai kepedulian dapat menciptakan ikatan dari per­bedaan. Kami juga mempunyai misi untuk mengembangkan pusat penelitian sosial ke­ma­sya­rakatan, membangun pusat belajar masyarakat sipil untuk keadilan, membangun ko­mu­nitas bantuan hukum dan peng­galangan dana sosial untuk kemanusian,” tutur putra Am­pang­kuranji, Dharmasraya ini.

Pendampingan Orang Rimba

Pendampingan orang rimba berawal dari survei yang dila­kukan Perkumpulan Peduli bersama SSS Pundi. Dalam survei tersebut, Pandong ber­temu dengan Marni, kepala rom­bong orang rimba yang pernah dibawa Pandong ke Jambi dalam rangka program KKI-Warsi Jambi tahun 2008. “Pertemuan tersebut, membuat saya prihatin melihat hidup Marni yang jauh berbeda dengan dahulunya, karena telah terusir di sekitar kawasan perkebunan PT Andalas Wahana Berjaya  (PT AWB),” ungkapnya.

Di kesempatan lain, Pan­dong pun bertemu dengan rom­bongan bidan di Sungai Janiah. “Awalnya, ia tidak mau difoto, bahkan mereka mencurigai kami ingin berbuat jahat. Me­reka menuduh kami “endok mengculiek” (mau menculik) kepada rombongannya. Wajar, saat itu ibuk bidan belum me­ngenal kami,” tutur Pandong.

Waktu berlalu, dukungan pembiayaan dari pemkab dan pihak swasta untuk membantu suku anak dalam (SAD), tak kunjung dapat. Pandong tak kehabisan akal, ia pun segera menemui kelompok tani di Nagari Sungaiduo, Kecamatan Sitiung. Pandong pun berusaha untuk meyakinkan kelompok tani tersebut, berkomitmen membantu SAD dengan me­nyum­bangkan sebagian gabah mereka untuk kami salurkan kepada SAD ketika mereka membutuhkan.

SAD mempunyai sifat ku­rang bagus ketika mereka diban­tu, mereka akan berusaha untuk terus mendapat bantuan. “Hal ini kami pahami sebagai strategi mereka bertahan hidup. Dalam seminggu mereka bisa dipas­tikan datang ke sekretariat Perkumpulan Peduli, Kompleks Perumahan Gunung Sari. Per­nah ketika itu, satu rombong SAD datang berturut-turut ke sekretariat, minta beras. Ketika itu, kami tidak punya uang. Terpaksalah, saya ambil ta­bungan istri untuk membantu mereka,” ulasnya.

Dalam prinsip peduli, Pan­dong mengutamakan masya­rakat dampingan. “Dalam situasi tidak punya uang, kita mesti membelanjakan uang untuk mereka. Perasaan batin ini, kadang membuat kami mener­tawakan diri sendiri, apakah ini akan bermakna? Jika kita lihat dari sisi materi, maka kita akan separuh hati untuk mereka. Namun jika kita meletakkannya sebagai ibadah, maka akan menjadi amal yang nanti me­ng­gembirakan kita di hari akhir,” katanya.

Jaringan NGO

Perkumpulan Peduli sangat diuntungkan dengan adanya NGO Tranparancy International Indonesia (TII) yang mem­punyai kegiatan mendorong pemerintahan yang baik di Ka­bu­paten Dharmasraya. “Saat kegiatan pelatihan terakhir, TII menghibahkan kepada kami berupa alat-alat kantor dan buku-buku bacaan. Termasuk biaya awal sekretariat yang merupakan bantuan tidak lang­sung dari TII,” ujarnya.

Keberuntungan peduli ber­lanjut dengan adanya orang yang mau memberikan dua blok rumah untuk perkumpulan gratis sampai saat ini. “Kami hanya membayar tagihan listrik di sana,” tutur Pandong yang sudah banyak terlibat aktif di dunia NGO sejak 1998, di Pa­dang, Jambi dan Jakarta.

“Kami ingin membangun perkumpulan ini berbasiskan sumber daya lokal termasuk dukungan finansial untuk be­rak­tivitas. Untuk itu, kami me­ngun­dang kawan-kawan lebih banyak terlibat. Kami menawarkan program pendampingan ma­sya­rakat, mencari donatur. Al­hamdulillah, saat ini sudah terkumpul donasi Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan. Jumlah tersebut cukup untuk operasional. Na­mun hal ini, tentu tidak akan cukup untuk kehidupan pribadi kawan-kawan yang berkumpul di sekretariat,” ungkapnya.

Untuk biaya hidup, ada di antara relawan membuka usaha pencucian motor, seperti yang dilakukan Rio Saputra. Melihat situasi tersebut, Pandong be­rinisiatif menghubungi teman-teman aktivisnya di NGO Pa­dang, Jambi dan Jakarta tempat dahulu ia beraktivitas.

Upaya tersebut disambut baik, beberapa lembaga seperti KKI-Warsi yang memang peduli terhadap pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan orang rimba di Jambi, mau mem­bantu. “Sekaitan dengan itu, kami juga dibantu dengan SSS-Pundi Sumatera, lembaga di Jambi yang mempunyai program untuk masyarakat mar­jinal, terutama SAD,” ulasnya.

Adanya bantuan dari ko­m­u­nitas NGO tersebut, sangat mem­bantu pembiayaan Per­kum­pulan Peduli dalam berk­e­giatan. Wa­laupun secara program, hingga kini Perkumpulan Peduli tidak mempunyai ikatan program dengan pihak mana pun.

“Hal yang menjadi pokok pemikiran utama kami dalam melakukan kegiatan, yakni se­makin berkurangnya kawasan hutan di Dharmasraya akibat pembukaan perkebunan dalam skala besar,” ujarnya.

Seperti diketahui, SAD meng­gantungkan seluruh ke­hi­du­pannya dari hasil hutan. Ke­tika luasan hutan semakin ber­kurang, secara tidak langsung akan berdampak besar terhadap kelangsungan hidup mereka. “Makanya, kami perlahan mem­perkenalkan huruf dan angka kepada SAD. Ini menjadi salah satu bagian dari strategi kami, agar anak-anak SAD ke depan dapat bertahan hidup, ketika kawasan hutan itu punah,” te­rang anggota Perkumpulan Peduli, Rio Saputra.

Subjek lain yang selalu men­jadi buah pemikiran Per­kum­pulan Peduli, bahwa SAD secara nyata merupakan suku yang dimarjinalkan dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Begitu pula pemerintah, juga tidak melakukan upaya apa pun da­lam mengayomi SAD. (***)

sumber: Padang Ekspres • Senin, 02/07/2012 13:46 WIB • SANNY ARDHY -- Dhamasraya • 272 klik